May 14, 2010
HADIAH SANG AYAH (RENUNGAN, MUST READ)
May 07, 2010
untitled
DIA mempunyai mulut yang boleh dibilang selalu terbuka lebar.
DIA merupakan jelmaan dari ular berkepala dua.
DIA ternyata tidak pernah tau kalau aku tau tentang apa yang di omongkannya dibelakangku.
DIA hanya melihat orang dari pakaian apa yang dipakai orang tersebut.
DIA mempunyai rupa yang sama dengan omongannya.
DIA selalu mengubar omongan tanpa memperdulikan keabsahan dari informasi tersebut.
DIA selalu menarik kesimpulan sebelum tau dari inti masalah itu.
dan
SAYA adalah orang yang dianggap dia sebagai sahabat basa basi
SAYA selalu tertipu dengan mulutnya
SAYA tidak sadar selama ini mengenai kejelekan dia.
SAYA terlalu bodoh untuk terlalu percaya dengan dia.
SAYA mencoba membenci dia. tapi tidak pernah bisa.
SAYA mulai bosan untuk mencoba membenci dia.
SAYA kehabisan cara. kalau tiba2 menjauh takutnya dianggap sombong.
SAYA benar2 membenci DIA !!!!
and finnaly....
Tolong rubah sifat mu
Tolong perbaiki sikap mu
Tolong hargai perasaan saya
Tolong jangan ulangi lagi
Tolong berhenti sampai disini titik......................................................... .
April 23, 2010
Cerita si Anjing Kecil
bersyukur (renungan)
April 13, 2010
RASA itu tetap SAMA
April 10, 2010
SAYA Berteman dengan Tembakau

March 26, 2010
Persembahan
pernah ada cerita
kau dan aku berjanji setia bersama
satu hati satu rasa .... satu mimpi kita
dipisahkan oleh waktu
dan kita menepuh jalan yg berbeda
dipisahkan oleh rasa.
kuingin tuk menjadi lebih bahagia
dan kupersembahkan untuk cinta
kadang hati ingin, selalu bersamamu
masih kah kau ingat janji kita tuk kembali disini
satu hati satu rasa, satu ... satu mimpi kita
dipisahkan oleh waktu
dan kita menepuh jalan yang berbeda
di pisahkan oleh rasa..
dan kupersembahkan untuk cinta
March 24, 2010
Gelap
March 23, 2010
Mereka (masih ada)

Tolong lihat keatas sejenak, wahai teman ..
banyak orang berdasi yang makan di restoran mahal,
Tolong lihat kebawah sejenak, wahai teman ..
March 22, 2010
UANG
"Orang yang merasa uang tak bisa memberi kebahagiaan adalah orang yang hidupnya tak pernah memiliki cukup uang"
Karena...
Uang bisa membeli hukum
Namun tidak mampu membeli keadilan
Uang bisa membeli pacar
Namun tidak mampu membeli kasih sayang
Uang bisa membeli kesenangan
Namun tidak bisa membeli ketenangan
Uang bisa menyelamatkan kamu dari dunia
Namun tidak akan pernah mampu menyelamatkan dari akherat..
UANG BUKAN SEGALA-GALANYA, TAPI MEMUDAHKAN
maav
keikhlasan diberikan tanpa kebodohan
kebodohan berubah menjadi penyesalan
penyesalan berakhir dengan kata maav
March 14, 2010
Jika kalian kurang bersyukur.. baca ini
Jika Kalian tinggal di rumah yang baik, memiliki cukup makanan dan dapat membaca.
Maka Kalian adalah bagian dari kelompok terpilih.
Jika Kalian bangun pagi ini dan merasa sehat.
Maka Kalian lebih beruntung dari jutaan orang yang mungkin tidak akan dapat bertahan hidup minggu ini.
Jika Kalian tidak pernah merasakan bahaya perang, kesepian karena dipenjara, kesakitan karena penyiksanaan, atau kelaparan.
Maka Kalian berada selangkah lebih maju dibandingkan 500 juta orang di dunia.
Jika Kalian dapat menghadiri pertemuan politik atau keagamaan tanpa merasa takut akan dilecehkan, ditangkap, disiksa, atau mati.
Maka Kalian beruntung, karena lebih dari 3 milyar orang di dunia tidak dapat melakukannya.
Jika Kalian memiliki makanan di lemari pendingin, baju-baju di lemari pakaian, dan memiliki atap yang menaungi tempat anda beristirahat.
Maka Kalian lebih kaya dari 75% penduduk di dunia ini.
Jika Kalian memiliki uang di bank, di dompet, dan mampu membelanjakan sebagian uang untuk menikmati hidangan di restoran.
Maka Kalian merupakan anggota dari 8% kelompok orang-orang kaya di dunia.
Jika orang tua Kalian masih hidup dan menikmati kebahagiaan kehidupan pernikahan mereka.
Maka Kalian termasuk salah satu dari kelompok orang yang dikategorikan langka.
Jika Kalian mampu menegakkan kepala dengan senyuman dibibir dan merasa benar-benar bahagia.
Kalian memiliki keistimewaan tersendiri, karena sebagian besar orang tidak memperoleh kenikmatan tersebut.
Jika Kalian dapat membaca ini.
Maka Kalian baru saja menerima karunia ganda, karena seseorang memikirkan Kalian dan Kalian jauh lebih beruntung dibandingkan lebih dari 1 milyar orang yang tidak dapat membaca sama sekali
Semoga Kalian menikmati hari yang indah ini.
Hitunglah karunia keberuntungan Kalian, dan sampaikan hal ini kepada orang lain untuk mengingatkan bahwa sebenarnya, kita adalah orang-orang yang sangat beruntung.
Dengan bersyukur, Kalian akan lebih menikmati hidup yang hanya sebentar ini.
Filsafat Bolak Balik
Sudah tua, korbankan harta cari kesehatan.
Karena harta, orang asing menjadi seperti saudara.
Karena harta, saudara menjadi seperti orang asing.
Orang kaya mampu beli ranjang enak, tapi gak bisa tidur enak (stress mikirin harta)
Orang miskin gak mampu beli ranjang enak, tapi bisa tidur enak (capek jadi kuli...)
Orang kaya punya duit buat foya-foya, tapi gak punya waktu.
Orang miskin punya waktu buat foya-foya,tapi gak punya duit.
Masih muda, pengen jadi kaya biar nikmatin kekayaan,
Udah kaya, gak punya waktu buat nikmatin kekayaan.
Sekali punya waktu buat nikmatin kekayaan,
udah keburu tua gak ada tenaga...
Bersyukurlah dan nikmati apa yang sudah kita dapat !!
March 03, 2010
Panggil Aku RANIA
Aku sayang sekali dengan bapakku yang sudah mendukung ibuku untuk tetap memberi nafas kepadaku. Aku juga tahu ibuku sayang sekali dengan bapakku. Mereka saling mengagumi pasangannya, cinta tidak pernah salah, cinta yang membuat bapak ibuku tetap menjalani hubungan itu. Yang kudengar dari ibuku…ia selalu mensyukuri apapun yang sudah diberikan Tuhan kepadanya, apapun yang terjadi dengan bapak ibuku adalah kehendak Tuhan yang tidak pernah bisa mereka hindari. Ibuku mengajariku untuk selalu menerima semua kenyataan yang ada, menjalani sebagaimanalayaknya manusia hidup.
Meskipun aku masih berupa janin yang belum sempurna, janin yang dihasilkan dari sperma bapakku dengan sel telur ibuku, tetapi aku sangat paham sekali apa yang dialami oleh bapak ibuku semenjak mereka berkenalan. Bisa dikatakan ketika suatu saat aku terlahir kedunia, aku akan berdiri dengan tegap sebagai saksi hidup rasa sayang bapak ibuku. Kata ibuku, kata kata cinta belum pernah ada di mereka, cinta itu hanya sebuah kata, yang perwujudannya belum tentu bisa diterima oleh semua orang. Jadi mereka lebih suka menyebutnya hubungan mereka sebagai rasa sayang.
Saat inilah, aku akan memulai, akan belajar menjadi saksi hidup mereka. Jadi ketika aku terlahir, aku sudah pandai berkata kata, sudah pandai membantu bapak ibuku mengatasi semua kendala yang akan mereka alami nantinya. Aku akan ikut berjuang memperjuangkan hubungan mereka, yang pasti tidak akan dengan mudah diterima oleh keluarga bapakku, keluarga ibuku, dan kehidupan rumah tangga bapakku dengan istrinya.
Aku tahu bapakku mengkhianati pernikahannya dengan istrinya, yang pastinya ibu tiriku nantinya. Awalnya aku protes keras terhadap hubungan mereka. Ibuku adalah penghancur rumah tangga bapakku, tapi semakin aku mendalami pemikiran mereka, masuk kejiwa mereka…aku smakin sadar bahwa ini bukan kesalahan sepenuhnya ibuku, bapakku juga andil membuat hubungan ini semakin kuat. Ahh..aku masih terlalu hijau untuk mengerti apa arti dari semua ini, masih terlalu kecil untuk memahami hubungan mereka.
Ibuku seorang perempuan lajang yang menjadi bagian dari kehidupan ibukota, yang hidup di liarnya kehidupan ibukota. Ibuku bukan tipe perempuan yang ingin mengeruk keuntungan dari bapakku, ia tidak pernah menyebut dirinya selingkuhan dari bapakku karena memang ia tidak pernah mendapat fasilitas sebagai perempuan simpanan. Ia tidak pernah mau menginginkan itu, ia hanya menginginkan seperbagian cintanya.
Pertemuan pertamanya dengan laki-laki itu, sudah membuat ibuku jatuh hati dengannya. Entah apa yang membuat perempuan itu jatuh hati, semua itu tidak akan pernah bisa dinalar oleh otak kita. Awalnya hubungan itu tidak akan pernah melibatkan perasaan, itu janji mereka. Namun kenyataannya, setelah dijalani berbulan bulan, bahkan bertahun tahun, rasa itu timbul dihati mereka, bapakku menjadi sayang dengan ibuku, dan sebaliknya. Hingga suatu saat aku ada di perut ibuku. Aku memang pernah ada, naluri ibuku mengatakan aku sudah ada diperutnya, meskipun dokter bahkan alat tes kehamilan belum bisa membuktikan.
Bapakku adalah laki laki beristri yang aku tidak pernah tahu bagaimana hubungannya dengan istrinya, entah harmonis atau tidak harmonis, aku tidak pernah peduli. Selingkuh baginya tanpa alasan, tiba tiba saja ia mau membuat hubungan dengan ibuku. Apakah rumput tetangga lebih hijau? Aku tidak pernah tahu alasannya. Bapakku tidak pernah tahu apa yang membuat hubungan ini semakin indah saja, ia tidak pernah tahu juga kenapa ia semakin sayang dengan ibuku,Ia hanya menjalaninya. Ia tidak ingin memberhentikan kisah ini sampai ia tahu apa arti dari hubungan ini, sampai ia tahu apa akhir cerita ini.
Semua kebetulan, semua seperti sudah diatur oleh Tuhan..itu jawaban yang cocok mengapa mereka masih berhubungan. Aku tidak mau berkomentar apapun tentang bapak ibuku karena aku hanya janin yang belum punya mulut untuk bicara, belum punya telinga untuk mendengar, belum punya mata untuk melihat. Semua ini aku bisa jelaskan karena aku punya hubungan batin dengan bapak ibuku.
Yang aku bisa banggakan dari bapakku, ia adalah sosok laki-laki yang bertanggung jawab penuh dengan semua yang ia perbuat. Aku pernah tahu, di dunia ini ada laki-laki yang tiba tiba lari dari tanggung jawab ketika ia harus bertanggung jawab terhadap apa yang mereka perbuat. Aku janji, ketika aku sudah terlahir kedunia, aku akan selalu menghormati bapakku, akan selalu membanggakan bapakku.
Aku tidak mau disebut sebagai anak haram, anak penuh dosa hanya karena ibuku hamil diluar nikah. Setiap janin yang ada di perut seorang ibu punya hak yang sama untuk nantinya bisa menghirup udara dunia. Kalau ibuku membaca atau berkata kata, aku bisa merasakannya. Ibuku selalu bilang, tidak akan pernah ada anak haram, karena kalau memang itu ada, itu adalah hasil perbuatan bapak ibunya.
Aku bisa merasakan rasa sayang bapakku dengan ibuku dan sebaliknya. Ibuku pernah berharap, andaikata mereka bertemu beberapa puluh tahun sebelumnya, ibuku mau menikah dengan bapakku. Nurut ibuku, bapakku adalah laki-laki yang sempurna dimatanya. Ibuku tidak pernah mau mengubah kesempurnaan bapakku hingga sesuai dengan arti kesempurnaan baginya. Laki-laki itu hadir dihadapannya dengan kesempurnaan yang dimilikinya. Ia tidak pernah mau menuntut bapakku untuk menjadi sempurna. Kalau memang ada kesempatan untuk meminta, ibuku hanya minta dipertemukan dengan bapakku disaat yang tepat, disaat bapakku tidak beristri, disaat mereka bisa mengucapkan kata cinta. Ibuku hanya bergumam, mengapa semuanya terlambat baginya?
“kau begitu sempurna..dimataku kau begitu indah. Kau membuatku untuk selalu memujamu….oh sayangku..kau begitu sempurna…, kau genggam tanganku, saat diriku lemah dan terjatuh, kau bisikkan kata dan hapus semua sesalku..janganlah kau tinggalkan diriku, takkan mampu menghadapi semua, hanya bersamamu ku akan bisa. Kau adalah darahku, kau adalah jantungku..kau adalah hidupku..lengkapi diriku..oh sayangku kau begitu sempurna…” sayup sayup aku bisa merasakan ibuku bersenandung mengingat bapakku, mengingat dalam kesendiriannya, dalam kesepiannya dimalam hari. Sederet bait itu yang bisa digambarkan oleh ibuku tentang bapakku.
Ibuku hanya bisa bersenandung dalam kesendiriannya. Ia hanya bisa diam, karena kalaupun ia meminta kepada Tuhan, pastilah doa itu tidak sewajarnya ia panjatkan. Ia hanya meminta…suatu saat ia tersadar dari tidurnya. Ibuku sadar apa yang mereka lalui adalah suatu kesalahan besar, tapi ibuku tidak mampu menepis kenyataan ini. Aku juga tahu bapakku masih menginginkan ibuku untuk menemaninya. Keterkungkuhan mungkin yang membuat bapakku merasa nyaman disamping ibuku.
“bapak, Rania hanya ingin tahu apa yang sebenarnya ada dilubuk hati terdalam bapak kepada ibu, Rania hanya ingin jawaban apa yang sebenarnya diinginkan bapak kepada ibu?” pertanyaan itu yang ingin aku tanyakan ketika aku dalam pelukan bapakku nantinya.
Aku sekarang hanya janin tapi aku bisa merasakan bagaimana kagumnya ibuku kepada bapakku. Begitu dalam rasa yang ada yang tercipta diantara bapak ibuku. Bapakku pernah berucap..ketika timbul rasa sayang atau apalah namanya diantara mereka, bapakku akan mengakhirinya..karena ini hanya sepenggal sequel kehidupannya. Namun, kenapa ketika mereka sudah menyadari ada rasa itu diantara mereka, bapakku tidak sanggup mengakhirinya. Apa karena ada aku? Ada janin yang mengharapkan terlahir kedunia nantinya. Saat ini aku berandai andai apa yang terjadi ketika aku tidak jadi terlahir, tiba tiba lenyap dari perut ibuku? Apa bapakku akan menjauhi ibuku? Rasanya tidak..mereka begitu kuat.
Ahh..aku bersyukur sekali lagi, aku punya bapak ibu yang sayang padaku, aku punya bapak yang tidak ingin menjadi pembunuh atas kerja keras spermanya membuahi ibuku. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku adalah Rania Rania yang lain yang berakhir di tangan dokter praktek aborsi, atau bahkan didukun pijat yang siap merenggut nyawaku menggunakan kekuatan tangannya. Aku juga tidak ingin ibuku merasakan kesakitan yang mendalam ketika harus membunuhku, ketika harus menjadi malaikat pencabut nyawaku, ketika harus menjadi Tuhan yang bisa menentukan umur setiap makhluk hidupNya.
Bapakku bukan pembunuh!
Itu kata kata yang kurasakan saat ini, tentunya ibuku sudah mengerti itu. Bapakku selalu membuat hari hari ibuku berwarna, indah. Bapakku akan mengawini ibuku sebentar lagi, bapakku akan menyayangiku sepenuh hati, karena memang aku sangat diinginkan terlahir. Meskipun saat ini ibuku tidak sepenuhnya menginginkan aku tapi aku yakin ibuku akan segera merubah keputusannya, dan semua itu karena bapakku.
Aku tidak pernah bosan mengagumi bapakku, keberanian bapakku menghadapi situasi ini, aku yakin, ibuku akan semakin sayang dengan bapakku. Ibuku akan selalu mengagumi kesempurnaan bapakku. Andaikata ada mesin waktu, aku ingin sekali menghadirkan moment terindah bagi bapak ibuku.
Aduh…kenapa aku merasakan perut ibuku sakit ya? Jangan-jangan aku sedang berhadapan dengan dokter pembunuh janin?? Tidak mungkin….ibuku akan membunuhku, tidak mungkin bapakku menyetujui permintaan ibuku untuk yang satu ini. Bapak dimana sekarang, Bantu aku..ibu kesakitan…
Tiba tiba saja semuanya gelap..tiba tiba kurasakan aku berpisah dengan ibuku…kurasakan aku baru saja keluar dari bibir vagina ibuku. Semuanya tampak hitam…
“Sayang....Raniamu gak jadi lahir 9 bulan lagi..” ucap perempuan itu di telepon genggamnya.
Perempuan itu merasa ada yang hilang dari dirinya, ia merasa kehilangan sesuatu dalam dirinya. Tetapi rasa yang tertanam dihatinya tentang laki-laki itu tetap ada dan selalu ada. Satu yang pasti..Rania lenyap bukan karena bapak ibunya seorang pembunuh, Rania lenyap karena memang Rania tidak ingin lahir dengan keadaan seperti ini, ia hanya ingin lahir ketika bapak ibunya sudah merasakan cinta yang mendalam dan tidak bisa dipisahkan lagi. Rania akan selalu menunggu terlahir kedunia ini.
March 02, 2010
BISU

Aku jauh dari sempurna karena memang aku bisu. Aku hanya bisa mendengar, menggerakkan tangan dan kakiku, menggeleng kalau bilang tidak dan mengangguk kalau ingin mengatakan iya. Kesempurnaan yang kuimpikan adalah ketika aku bisa bicara, ketika aku tidak lagi menggunakan anggota tubuhku sebagai isyarat atau ketika air mata tidak kujadikan sebagai bahasa komunikasiku.
Ruangan kecil, sudut kamar dan teras adalah tempat dimana aku bisa berkomunikasi menggunakan kemampuanku yang terbatas. Tempat itu membuatku merasa aman, membuatku bisa tersenyum dan menangis. Tempat itu pula diam diam aku belajar berbicara tanpa diketahui oleh mereka. Lamunan, khayalan dan harapan sudah banyak di pikiranku, aku simpan rapat di hati, tanpa seorang pun tahu, ya karena aku tidak bisa bicara.
February 27, 2010
Metamorfosis
Metamorfosis saya adalah dari sebuah sebuah sel sperma ayah yang bertemu dengan sel telur ibu, kemudian selama sembilan bulan saya menjadi kepompong dan akhirnya saya berubah menjadi Anjing. loh, kok Anjing... iya ANJING.. tepatnya ANAK ANJING.
Perumpamaan diatas merupakan suatu kebenaran akan suatu proses dari kehidupan yang saya alami sendiri. saya ulangi, ini merupakan suatu kebenaran akan suatu proses dari kehidupan yang saya alami sendiri. ini hidup saya. Ingat peraturan pertama : " INI BLOG SAYA, INI POSTING SAYA, INI FIKIRAN SAYA, dan INI ADALAH HAK SAYA DIDALAM BERPENDAPAT ".
Apakah saya harus mencantumkan nama disini ? sebagai identitas atau hanya sebagai media mempermudah penyampaian antara saya dan anda yang membaca ?
Ok. saya Esa. mungkin diberi nama Esa karena saya merupakan anak tunggal dari sebuah keluarga yang saya anggap hanya sebagai neraka. Anjing !!!
Saya ingat pada saat saya masih di TK (Taman Kanak kanak), pada saat itu sedang pelajaran Mengarang Indah dengan tema KELUARGA, ada teman saya yang menulis : " FAMILY - Father And Mother I Love You " sedangkan karangan yang saya tulis tidak ada, kertas saya masih kosong. Karena saya tidak pernah mengenal akan indah nya keluarga, jadi jangan salahkan saya apabila kertas saya masih kosong. Akhirnya saya menyerahkan kertas tersebut kepada guru. Ibu guru itu bertanya "Esa, kok kertasnya kosong ?? " dengan enteng saya menjawab " Iya, Karena saya tidak tau apa itu arti dari keluarga " akhirnya bu guru terdiam, kosong. sama seperti kertas yang saya serahkan kepadanya.
Hingga saat ini, saya rasa rumah saya tak lebih baik dari neraka. Setiap saat melihat kedua orang tua bertengkar adalah suatu hal yang biasa buat saya. Terus bertengkar hingga kalian puas.
Liburan bersama keluarga adalah sesuatu yang tidak mungkin saya alami.. saya jengah akan rumah. Saya benci papa, saya benci mama.. no one loves me.. persetan segalanya.
Sekarang keluarga saya adalah saya sendiri...
dedicated to " The Victim of Divorce "
February 24, 2010
Ia Tidak Sedang Sendirian
Saya pikir perempuan itu pastilah setengah gila. Atau memang benar-benar gila. Tapi kenapa ia bisa dengan leluasa pergi tanpa penjagaan? Adakah kegilaannya yang satu ketika dapat merugikan orang? Tapi di luar gerak-geriknya yang aneh itu, caranya berpenampilan tidak menunjukkan bahwa ia tidak waras. Cenderung menarik, malah. Tank topwarna khaki berbelahan dada rendah dihiasi sedikit bordiran, nampak seksi namun terlihat manis berpadu celana jin dan sandal coklat motif bulu sapi. Rambutnya dijepit seluruh ke belakang sehingga tak ada satu helai pun jatuh menutupi wajahnya yang hanya disapu bedak tipis, sementara bibirnya dipulas gincu coklat muda yang terlihat amat natural. Umurnya mungkin menginjak tiga puluhan
Sejak satu jam lalu datang ke kafe ini, ia tak berhenti merokok dan meminta pelayan dua gelas bir sekali pesan. Ia tidak memesan makanan. Ia hanya minum bir yang hingga saat ini sudah empat kali pesan. Berarti sudah delapan gelas bir dalam waktu hanya satu jam. Apakah ia sudah mabuk sehingga berlaku sedemikian aneh, duduk dengan tubuh condong ke depan sambil menutupi setengah wajahnya dengan tangan kanan sementara mulutnya komat-kamit dan sesekali diam dengan tubuh semakin condong ke depan seolah ingin menyimak benar perkataan lawan bicaranya yang mungkin berucap dengan suara pelan? Padahal ia sedang sendirian.
Saya berusaha untuk mengalihkan perhatian kembali ke lap top. Ada beberapa surat elektronik yang harus saya jawab. Semua berkaitan dengan pekerjaan. Begitu banyak naskah yang datang namun sedikit yang layak untuk dipublikasikan. Padahal sebagai redaktur budaya sebuah surat kabar, saya harus memuat satu naskah dengan tenggat mingguan. Kalau saja saya tidak hanya diberi hak kuasa untuk menentukan naskah mana yang layak dimuat, namun juga diberi kuasa untuk berhak tidak memuat satu pun karya jika memang tidak ada yang layak dimuat, mungkin pekerjaan ini akan jauh lebih mudah. Tidak akan saya rasakan lagi pertentangan batin setiap kali harus dengan terpaksa memuat satu naskah yang kendati tak sesuai dengan keinginan saya, paling tidak dalam naskah itu terkandung pesan moral dan tidak menyinggung masalah SARA apalagi berbau porno seperti yang sering dibuat para penulis belakangan.
Pening kepala saya menatap puluhan surat elektronik yang melulu urusan pekerjaan, antri berjejer dari atas hingga bawah. Tak ada surat elektronik yang saya tunggu. Yang selalu bisa mendamaikan perasaan. Yang selalu bisa memberikan kesegaran. Sedang apa perempuan itu sekarang? Kenapa sudah berhari-hari tak mengirim kabar? Apakah dengan semudah itu saya terlupakan? Pandangan saya kembali beralih ke perempuan setengah gila, atau memang benar-benar gila, atau sudah mabuk, di depan saya. Tak kuasa saya untuk tidak mengamatinya lebih lanjut. Akhirnya saya pun tahu, apa yang menyebabkan saya tertarik mengamati perempuan itu. Bukan karena tingkah lakunya yang aneh. Bukan pula karena ia menarik seperti dugaan pertama saya. Tapi karena ia terlihat sama dengan perempuan yang kabarnya begitu saya tunggu. Saya rindu.
Saya mulai mencermati perempuan itu dengan lebih seksama. Gaya duduknya. Gaya merokoknya. Gaya minumnya. Dan barulah saya sadar, kenapa ia memesan bir sekaligus dua gelas. Yang satu ditaruh di depannya. Yang satu ditaruh di depan bangku seberangnya. Ketika perempuan itu minum birnya, bir di gelas satunya pun surut sebanyak yang ia teguk dari gelasnya. Lantas ia menaruh gelasnya kembali. Mengisap rokoknya yang ditaruh di tangan kiri. Menaruh siku tangan kanannya di atas meja. Dan menutupi separuh wajahnya dengan tangan kanannya. Saya tak bisa memercayai penglihatan saya. Hanya dua meja terisi di smoking area.Mejanya, dan meja saya. Ruang bebas rokok berada di sebelah kiri mejanya. Penuh terisi pengunjung yang datang bersama keluarga. Jika perempuan itu menutupi wajahnya hanya dengan tangan kanan, tapi membiarkan separuh bagian wajahnya yang lain terbuka di bagian kiri di mana lebih banyak pengunjung dapat melihat dari sana, apakah itu berarti ia secara sengaja menyembunyikan wajahnya dari saya yang duduk di sebelah kanannya?
Apakah ia merasa kalau saya sedang memperhatikan? Dan kenapa pelayan tidak terlihat merasa janggal setiap kali perempuan itu memesan dua gelas bir sekaligus, kenapa pula pengunjung lain tidak merasa bahwa perempuan itu berlaku aneh, duduk dengan tubuh condong ke depan sambil menutupi setengah wajahnya dengan tangan kanan sementara mulutnya komat-kamit dan sesekali diam dengan tubuh semakin condong ke depan seolah ingin menyimak benar perkataan lawan bicaranya yang mungkin berucap dengan suara pelan? Padahal ia sedang sendirian.
Kini saya yang merasa gila. Tak tahu mana yang harus saya percayai. Penglihatan saya, atau penglihatan orang lain. Pikiran saya, atau pikiran orang lain. Perasaan saya, atau perasaan orang lain. Saya melihat dan yakin betul perempuan itu sedang sendirian. Tapi saya juga melihat dan yakin betul perempuan itu tidak sendirian! Dari pesanan birnya yang sekaligus dua gelas. Dari cara duduknya yang condong ke depan dan menatap lurus-lurus ke seberangnya sambil komat-kamit dan sesekali tubuhnya lebih condong ke depan dengan ekspresi serius seolah sedang menyimak sebuah pembicaraan. Apakah semua itu tidak cukup sebagai bukti kalau perempuan itu tidak sendirian?
Dan ketika gelas keempatnya–atau gelas kedelapannya?–sudah hampir habis, bisa saya lihat jelas perubahan sikapnya. Ia mulai sering tertawa terbahak-bahak bersamaan dengan tangan kanan yang dipakai untuk menutupi separuh wajahnya melayang ke seberang meja dengan gerakan mencubit. Pipinya pun mulai merah. Tatapan matanya sudah tak sekeras sebelumnya. Berubah sayu dan mesra. Ada kegenitan pada sikapnya sekarang. Ada kehangatan, yang bisa membuat siapapun laki-laki di depan perempuan itu akan merasa sedang diberi peluang. Laki-laki? Saya tidak melihat siapapun bersama perempuan itu. Tapi kenapa saya begitu yakin jika ia sedang bersama laki-laki?
Saya semakin tak tahu mana yang harus saya percayai. Penglihatan saya, atau penglihatan orang lain. Pikiran saya, atau pikiran orang lain. Perasaan saya, atau perasaan orang lain. Tapi saya harus memercayai sesuatu. Tidak bisa tidak. Atau saya akan bertambah merasa gila, bukan lagi perempuan itu yang gila, atau semua orang di kafe ini yang tak kalah gila karena tidak bisa melihat bahwa di depan mata mereka sedang terjadi sebuah kejadian gila.
Saya tidak gila. Titik. Perempuan itu yang gila, tak terkecuali semua orang di kafe ini. Sudah amat jelas perempuan itu tidak sendiri. Dan ia pasti sedang bersama laki-laki. Perempuan jenis itu, yang sengaja memakai baju dengan belahan dada rendah, minum bir di siang hari, merokok tidak berhenti, berbicara dengan bisik-bisik sambil menyembunyikan separuh wajahnya, atau mulai tertawa terbahak-bahak sesudah menenggak bir gelas keempat dan mencubit genit sesekali, adalah jenis perempuan yang rugi jika waktunya tak dihabiskan untuk merayu laki-laki. Perempuan yang hanya berpotensi memberi kesenangan sesaat lantas meninggalkan tak lebih dari sakit hati. Pasti.
Saya kembali meneliti deretan surat elektronik. Ada beberapa yang baru. Semua berkaitan dengan pekerjaan. Tak juga saya terima surat elektronik yang saya tunggu. Sedang apa perempuan itu sekarang? Kenapa sudah berhari-hari tak mengirim kabar? Apakah dengan semudah itu saya terlupakan?
Mendadak saya enggan mencari jawaban. Percuma. Perempuan jenis itu tak beda dengan perempuan gila di samping saya. Seminggu keluar kota untuk liburan, pasti ia sedang tidak sendirian. Tak mungkin tidak ia lewati waktu tanpa merayu laki-laki untuk mengisi kekosongan. Pasti ia sedang memakai baju berbelahan dada rendah. Merokok. Minum bir. Mencondongkan tubuhnya ke depan, lebih condong lagi ke depan sehingga garis di antara buah dadanya dapat dilihat dengan begitu jelas dan aroma bir dari mulutnya tercium benar oleh hidung siapapun laki-laki di depannya. Sesekali terbahak. Sesekali mencubit dengan genit. Pasti. Betul atau tidak, terbukti atau tidak. Saya harus memercayai sesuatu, tidak bisa tidak. Atau saya akan bertambah gila.
Sudah saatnya pergi sekarang. Pergi meninggalkan semua kegilaan. Pergi meninggalkan semua keraguan. Pergi meninggalkan perempuan yang kabarnya begitu saya tunggu, kendati saya rindu. Saya cemburu. Padahal ia sedang sendirian.
IKAN

Ia menatap saya dengan pancaran mata riang. Syahdu meliputi butir-butir hujan yang jatuh menimpa tubuh kami yang diam-diam menggelinjang. Sembunyi-sembunyi, kami menikmati denyar-denyar di lautan perasaan paling dalam. Sementara kilat mencabik-cabik langit hingga berupa potongan-potongan gambar pantulan kami berjumlah jutaan. Ada yang hanya bagian kepala, ada yang hanya bagian kaki, dan ada yang hanya bagian tangan. Tak jarang kepingan-kepingan yang terlihat bagai pecahan kaca yang beterbangan itu saling berhantaman. Lantas jatuh menghajar kepala kami kala tak sedang ingin penuh. Menusuk ke dalam kekosongan otak yang terasa ringan. Hingga ada satu pecahan jatuh tepat di antara bibir kami yang tengah berciuman. Seolah dengan sengaja ingin memisahkan.
Malam berenang dalam kesunyian. Deru ombak ditingkahi samar suara musik dari kafe di kejauhan pantai, saling beradu berebut perhatian. Kami terkapar di atas pasir basah. Dingin meresap pori-pori kulit kami yang telah menjadi keriput dan merinding. Entah karena dingin yang memanggang, entah karena nyala yang redup, entah karena basah yang kering, entah karena entah, karena entah adalah ketidaktahuan yang sering kali jauh lebih memabukkan daripada kesadaran. Bukankah kita semua membayar mahal untuk sebuah entah? Kafe di pinggir pantai itu pun terisi orang-orang yang rela mengeluarkan ratusan hingga jutaan rupiah untuk tidak sadar. Untuk saling bertukar lidah berludah dengan orang yang baru dikenal. Untuk muntah di atas jamban lantas terpingkal-pingkal. Untuk saling bersentuhan dan mendesah massal. Untuk larut dalam satu malam yang menawarkan sejuta gombal.
Phuih! Ombak meludahi wajah kami yang ingin tak peduli. Tapi lendir ombak itu melekat begitu kental, begitu tengik! Mendakwa kelakuan kami sebagai jijik. Dan ia terpana. Girangnya sirna. Ia bukan lagi ikan yang terbang dan burung yang berenang. Dan ia menatap seolah saya adalah daging dan tulang yang terbalut kulit kerang. Muka badak, begitu istilah orang-orang. Maka saya tahu, hampir tiba saatnya waktu bersenang-senang hilang. Kebenaran dan kesalahan dipertanyakan. Saat penghakiman.
Suara musik di kejauhan membisikkan mimpi yang mutlak terulang. Sendawa alkohol di permukaan udara. Bahana tawa. Bercinta di bawah para-para. Pesta pora. Sentuhan menggoda. Senyum manja. Membuat saya begitu jengah dengan segala aturan-aturan. Membuat saya muak mendengar melulu kebajikan. Maka…
Phuih! Saya meludah ke mukanya. Lantas saya berlari sambil menarik dahak sebanyak-banyaknya di tenggorokan untuk segera melimpahkannya kepada ombak yang kurang ajar. Saya pun tak mau membuang waktu lebih panjang. Saya berlari kencang menuju kafe dengan kaki-kaki telanjang. Meninggalkannya dalam diam yang haru. Rajaman semu.
Musik kian mengentak. Undak-undakan telah disiapkan di pinggir bar. Para model menunggu giliran untuk sebuah peragaan. Entah peragaan busana. Entah peragaan gaya. Entah peragaan yang bisa memancing rasa terpana. Entah peragaan untuk sekadar pertunjukan. Pertunjukan berarti menunjukkan sesuatu. Tapi sesuatu yang ingin dipertunjukkan itu tetaplah entah. Di sebuah tempat antah berantah.
Mereka yang berada di sana tertawa untuk entah. Sementara saya pun pura-pura tertawa, mengelabui pikiran sendiri yang sedang secara diam-diam mencari makna. Berlaku nyaris sama dengan yang lainnya supaya tak terlihat sebagai pembodoh di dalam magma yang siap memuntahkan laharnya kepada siapa pun yang berusaha meredam dengan dingin tanya. Apa pula pentingnya bertanya jika ada liukan pinggul di depan mata, rok-rok dengan panjang ala kadarnya, dan kaki-kaki jenjang mengentak di atas meja? Bukankah yang selayaknya terdengar adalah tanya semisal, berapa kira-kira umur mereka, bisa atau tidak mereka diajak kencan setelah acara, pertanyaan-pertanyaan yang tidak saja tertuju kepada para model itu, tapi juga kepada setiap pengunjung yang rela dan masyuk berimpit di dalam ruangan dipenuhi asap rokok meraja tiap penjuru?
Dan pertanyaan itu pun berdesing di telinga saya. “Sendiri?” Saya menatapnya. Tapi pandangan saya bagai menembus segala bentuk yang ada. Saya melihat seringai serigala di bibirnya yang tipis itu. Saya melihat anak-anak yang tengah tertidur di atas tempat tidur berkelambu. Saya melihat jajaran kartu kredit di dompetnya yang berwarna abu-abu. Saya melihat seekor burung yang seperti baru terjaga dari mati suri nyaris sewindu. Saya melihat diri saya sendiri terpaku. Tak mampu menjawab pertanyaan itu. Ia pun langsung mengambil langkah seribu. Namun seperti pekik senapan lagi-lagi pertanyaan itu kembali memburu. “Sendiri?” Dan sesudahnya, saya melihat sepasang manusia bercengkerama, lalu memisahkan diri.
ALKOHOL, sebagaimana fungsi malam ialah sarana untuk bersembunyi dari terang. Mata pun meredup menciptakan pemandangan yang makin samar. Ada surga yang akan segera terjangkau. Ada nama yang akan segera dilupakan. Ada luka yang akan segera hilang. Luka yang menyadarkan bahwa masa lalu kita nyata. Masa lalu yang pernah menguatkan perasaan bahwa dosa tak akan pernah cukup berarti ketika hati nurani mengatakan apa yang benar.
Selalu harus ada yang pantas. Di tempat yang begitu tanpa batas ini pun mengenal kata pantas. Mata saya pun memanas. Ada yang mendesak ingin keluar. Maka bening berkumpul menyelimuti hitam bola mata. Namun ada keinginan kuat untuk segera menahan sedu sedan. Pertahanan yang dibangun untuk satu kata pantas, pantas, dan pantas. Padahal saya begitu ingin mendengar pantas sebagai pantat. Saya ingin melihat bubur sebagai dubur. Saya ingin merasa kosong sebagai bokong. Saya ingin merasa pantas yang lain dan lain yang pantas. Maka….
dengan mata telanjang saya melihat ia ikan yang terbang. Ia burung yang berenang. Lalu semakin banyak ikan yang terbang. Semakin banyak burung yang berenang. Lalu semakin bertambah banyak ikan yang terbang. Semakin bertambah banyak burung yang berenang. Dan semua adalah ikan yang terbang. Semua burung yang berenang. Namun saya mencari mata yang menatap girang. Tapi tak juga saya temukan ia di tengah hiruk-pikuk gelepar sayap ikan dan sirip burung-burung berkepakan. Ia masih berada dalam diam yang haru. Rajaman semu.
Saya menunggu.
sumber : djenar maesa ayu
February 23, 2010
AIR
Saya akan menjaganya.
Air kental itu seperti bom yang meledak di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hingga keluar mendesak celana dalam yang tak kuat membendungnya. Terus menyeruak dan mendarat lengket, liat, di atas seprai motif beruang teddy berwarna merah muda. Ketuban sudah pecah. Rasa takut seketika membuncah. Tapi segera mentah berganti dengan haru memanah.
Sembilan bulan sudah. Lewati mual tiap kali mencium bau parfum keluaran baru eternity. Rasa waswas setiap kali belum waktunya namun sudah kontraksi. Tidak mengambil cuti, mencari uang demi mengonsumsi makanan bergizi yang konon bisa membuahkan kecanggihan otak maupun fisiknya nanti. Tapi… “Kami mengerti, tapi perutmu sudah kelihatan tambah besar. Kami tidak bisa mempekerjakan SPG yang kelihatan sedang hamil,” kata supervisor saya.
Saya akan menjaganya.
Air ketuban sudah hampir kering. Baru pembukaan delapan, masih harus menunggu dua pembukaan lagi. Harus operasi. Tapi saya ngotot persalinan alami. Uang yang terkumpul tidak cukup untuk operasi. Dan jika operasi, saya khawatir tidak bisa langsung mengurusnya sendiri. Untuk keperluan sehari-hari saja pas-pasan. Membayar pembantu, apalagi suster, jelas belum mapan. Materi yang ada, belum cukup untuk hidup sebagai majikan. Memikirkan itu tenggorokan saya jadi ikut kering. Erang kesakitan sudah tidak lagi melengking. Kepala saya pening. Dokter yang baik itu menatap saya dengan prihatin. Tapi saya berkata dengan yakin. “Robek saja, Dok. Gunting saja supaya tuntas pembukaannya.”
Saya akan menjaganya
Air hangat itu membasuh kulit tubuhnya yang bening. Suara tangisnya seisi ruangan melengking. Saya jentikkan jari kelingking di pipinya yang merah. Mengecup kedua matanya yang masih lengket. Masih tak percaya. Makhluk manis tak berdaya itu pernah tinggal di dalam rahim saya. Masih tak percaya.
Makhluk mungil itu keluar dari dalam tubuh saya. Lantas suster membawanya. Pergi ke kamar bayi jauh dari ibunya. Saya ingin protes, tapi tak bisa. Saya hanya bisa berjanji dalam hati, setelah ini tak akan ada yang memisahkan kami lagi, ketika suster itu berkata, “Ibu butuh istirahat untuk mempersiapkan ASI. Sekarang kami akan membawanya ke kamar bayi.”
Saya akan menjaganya.
Air putih cair itu keluar berupa jentik-jentik yang ajaib di ke dua puting saya. Suster yang sedari tadi memijat payudara saya terlihat puas. Tidak terlalu sulit mengeluarkannya. Selama sembilan bulan setiap harinya saya sudah memijat payudara saya dengan minyak kelapa. Lucu, sekarang ke dua payudara kecil ini pun gemuk membungkah seperti kelapa. Penuh dengan air susu yang sebentar lagi akan ada pengisapnya. Di mana makhluk mungil itu?
Saya begitu tak sabar menunggu. Begitu ingin segera menimang dan menatapnya menyusu. Saya sudah tidak butuh rehat. Air susu saya sudah sarat. Payudara sudah terasa berat. “Benar Ibu sudah siap?”
Saya akan menjaganya
Air mata meleleh di pipinya, tak ingin begitu saja melepas kepergian saya. Cukup lama saya harus menenangkannya. Berusaha memberikan pengertian. Berusaha memberikan rasa aman. Dan harapan. Harapan akan segera pulang. Harapan akan segera pulang membawa uang. Harapan akan segera pulang membawa uang untuk suatu hari nanti tak perlu pergi kerja dan tinggal angkat kaki ongkang-ongkang.
Dan saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia akan tetap tak membiarkan saya pergi. Tetap menunggu saya pulang. Saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia membiarkan saya pergi. Tak menunggu saya pulang. “Capek ah nunggu, aku udah mau tidur!” semprotnya.
Saya akan menjaganya.
Air asin itu mendarat di bibir saya lagi. Lampu-lampu besar seperti makhluk pemeras keringat yang tak berperikemanusiaan. Sudah jam delapan. Baru akan dimulai merekam adegan. Saya harus segera menghayati peran. Tapi kepala saya masih dipenuhi pikiran. Apakah makhluk kecil yang sudah beranjak remaja itu sudah makan? Apakah ia kesepian? Atau jangan-jangan di rumah ia sedang asyik masyuk pacaran? Saya menjadi ketakutan. Ingin menelepon tapi sutradara memberi instruksi jika ponsel mutlak dimatikan. Tak ada yang mungkin saya lakukan untuk menjangkaunya sekarang. Padahal saya sudah begitu ingin cepat-cepat menjangkaunya dan terbang pulang.
Saya akan menjaganya.
Air jernih di dalam gelas yang dulu ada di atas meja samping tempat tidurnya, kini telah berganti dengan air berbusa kekuning-kuningan. Di gelas itu berdiri sebotol bir merek bintang. Entah disengaja untuk menarik perhatian. Entah ia sudah teler dan lupa menyimpan. Yang sudah pasti telah terjadi perubahan yang membuat saya tertekan. Tapi lebih pasti lagi ia tak kurang tertekan. Apakah yang sudah saya lakukan? Atau justru apakah yang tidak saya lakukan? Sudahkah karenanya ia menjadi korban? Di balik selimutnya ia tertidur dengan amat tenang. Saya jentikkan kelingking di pipinya yang bening. Saya kecup kedua matanya yang merapat, persis seperti
ketika ia baru lahir dengan kedua mata yang masih lengket. Tapi ia menggeliat. Lantas meronta, menghalau saya supaya tak dekat-dekat. Semakin terkumpul segala lelah segala penat.
“Bangsaaaaaaaat!”
Saya tak kuasa menjaganya.
Air kuning kental itu meluap dari mulut saya. Lima puluh pil penenang saya tenggak. Harusnya seratus pil seperti yang dikonsumsi Maryln Monroe hingga ajal menjemputnya. Ada cahaya di ujung lorong, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang berbalut cahaya kemilau dengan tangan terbuka. Siap menerima saya dalam pelukan bahagia. Saya menengok ke arah ujung lorong yang berlawanan. Ada kegelapan, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang sama sekali tak berbalut cahaya kecuali melulu kegelapan dan luka. Terkulai lemah seakan menunggu saya menerima ia dalam pelukan saya. Menunggu. Seperti semasa ia bayi menunggu saya membersihkan puting payudara sebelum menyerahkan untuknya menyusu. Menunggu. Seperti semasa ia balita menunggu saya pulang selepas kerja membawa sedikit uang dan satu kantung plastik berisi sepatu baru.
Menunggu. Seperti saya sekarang menunggunya dengan ilusi dirinya berkilauan merentangkan tangan atau terkulai lemah membutuhkan pegangan setelah menemukan mulut saya berbusa akibat menenggak obat penenang. Menunggu.
Saya kembali ke kamarnya. Duduk di samping tempat tidurnya dan memerhatikannya yang sudah kembali pulas tidur. Ada buku di sampingnya menarik perhatian saya. Pelan-pelan saya ambil dan buka. Ada puisi di dalamnya.
Air dapat memelukmu
tapi tak akan membelenggumu
Air dapat pantulkan cahayamu
tapi tak dapat jadikanmu nyata *
Saya akan menjaganya.
(*) Cuplikan puisi Air karya Banyu Bening
February 22, 2010
Mimpi Vs Saya

pepatah busuk yang masih dipercaya oleh "sebagian" orang, not me tentunya.. masih sering bermimpi kah anda ? mimpi tentang apa ??
Mimpi Vs lotre