PEREMPUAN itu duduk dengan tubuh condong ke meja di depannya. Pandangan matanya mengarah lurus ke depan. Tangan kirinya memegang rokok sementara tangan kanan yang sikunya bertumpu di atas meja berusaha menutupi separuh wajahnya. Mulutnya komat kamit. Sesekali badannya semakin condong ke depan ketika ia sedang tidak komat-kamit, seolah ingin menyimak benar setiap perkataan lawan bicaranya yang mungkin berucap dengan suara pelan. Padahal ia sedang sendirian.
Saya pikir perempuan itu pastilah setengah gila. Atau memang benar-benar gila. Tapi kenapa ia bisa dengan leluasa pergi tanpa penjagaan? Adakah kegilaannya yang satu ketika dapat merugikan orang? Tapi di luar gerak-geriknya yang aneh itu, caranya berpenampilan tidak menunjukkan bahwa ia tidak waras. Cenderung menarik, malah. Tank topwarna khaki berbelahan dada rendah dihiasi sedikit bordiran, nampak seksi namun terlihat manis berpadu celana jin dan sandal coklat motif bulu sapi. Rambutnya dijepit seluruh ke belakang sehingga tak ada satu helai pun jatuh menutupi wajahnya yang hanya disapu bedak tipis, sementara bibirnya dipulas gincu coklat muda yang terlihat amat natural. Umurnya mungkin menginjak tiga puluhan
Sejak satu jam lalu datang ke kafe ini, ia tak berhenti merokok dan meminta pelayan dua gelas bir sekali pesan. Ia tidak memesan makanan. Ia hanya minum bir yang hingga saat ini sudah empat kali pesan. Berarti sudah delapan gelas bir dalam waktu hanya satu jam. Apakah ia sudah mabuk sehingga berlaku sedemikian aneh, duduk dengan tubuh condong ke depan sambil menutupi setengah wajahnya dengan tangan kanan sementara mulutnya komat-kamit dan sesekali diam dengan tubuh semakin condong ke depan seolah ingin menyimak benar perkataan lawan bicaranya yang mungkin berucap dengan suara pelan? Padahal ia sedang sendirian.
Saya berusaha untuk mengalihkan perhatian kembali ke lap top. Ada beberapa surat elektronik yang harus saya jawab. Semua berkaitan dengan pekerjaan. Begitu banyak naskah yang datang namun sedikit yang layak untuk dipublikasikan. Padahal sebagai redaktur budaya sebuah surat kabar, saya harus memuat satu naskah dengan tenggat mingguan. Kalau saja saya tidak hanya diberi hak kuasa untuk menentukan naskah mana yang layak dimuat, namun juga diberi kuasa untuk berhak tidak memuat satu pun karya jika memang tidak ada yang layak dimuat, mungkin pekerjaan ini akan jauh lebih mudah. Tidak akan saya rasakan lagi pertentangan batin setiap kali harus dengan terpaksa memuat satu naskah yang kendati tak sesuai dengan keinginan saya, paling tidak dalam naskah itu terkandung pesan moral dan tidak menyinggung masalah SARA apalagi berbau porno seperti yang sering dibuat para penulis belakangan.
Pening kepala saya menatap puluhan surat elektronik yang melulu urusan pekerjaan, antri berjejer dari atas hingga bawah. Tak ada surat elektronik yang saya tunggu. Yang selalu bisa mendamaikan perasaan. Yang selalu bisa memberikan kesegaran. Sedang apa perempuan itu sekarang? Kenapa sudah berhari-hari tak mengirim kabar? Apakah dengan semudah itu saya terlupakan? Pandangan saya kembali beralih ke perempuan setengah gila, atau memang benar-benar gila, atau sudah mabuk, di depan saya. Tak kuasa saya untuk tidak mengamatinya lebih lanjut. Akhirnya saya pun tahu, apa yang menyebabkan saya tertarik mengamati perempuan itu. Bukan karena tingkah lakunya yang aneh. Bukan pula karena ia menarik seperti dugaan pertama saya. Tapi karena ia terlihat sama dengan perempuan yang kabarnya begitu saya tunggu. Saya rindu.
Saya mulai mencermati perempuan itu dengan lebih seksama. Gaya duduknya. Gaya merokoknya. Gaya minumnya. Dan barulah saya sadar, kenapa ia memesan bir sekaligus dua gelas. Yang satu ditaruh di depannya. Yang satu ditaruh di depan bangku seberangnya. Ketika perempuan itu minum birnya, bir di gelas satunya pun surut sebanyak yang ia teguk dari gelasnya. Lantas ia menaruh gelasnya kembali. Mengisap rokoknya yang ditaruh di tangan kiri. Menaruh siku tangan kanannya di atas meja. Dan menutupi separuh wajahnya dengan tangan kanannya. Saya tak bisa memercayai penglihatan saya. Hanya dua meja terisi di smoking area.Mejanya, dan meja saya. Ruang bebas rokok berada di sebelah kiri mejanya. Penuh terisi pengunjung yang datang bersama keluarga. Jika perempuan itu menutupi wajahnya hanya dengan tangan kanan, tapi membiarkan separuh bagian wajahnya yang lain terbuka di bagian kiri di mana lebih banyak pengunjung dapat melihat dari sana, apakah itu berarti ia secara sengaja menyembunyikan wajahnya dari saya yang duduk di sebelah kanannya?
Apakah ia merasa kalau saya sedang memperhatikan? Dan kenapa pelayan tidak terlihat merasa janggal setiap kali perempuan itu memesan dua gelas bir sekaligus, kenapa pula pengunjung lain tidak merasa bahwa perempuan itu berlaku aneh, duduk dengan tubuh condong ke depan sambil menutupi setengah wajahnya dengan tangan kanan sementara mulutnya komat-kamit dan sesekali diam dengan tubuh semakin condong ke depan seolah ingin menyimak benar perkataan lawan bicaranya yang mungkin berucap dengan suara pelan? Padahal ia sedang sendirian.
Kini saya yang merasa gila. Tak tahu mana yang harus saya percayai. Penglihatan saya, atau penglihatan orang lain. Pikiran saya, atau pikiran orang lain. Perasaan saya, atau perasaan orang lain. Saya melihat dan yakin betul perempuan itu sedang sendirian. Tapi saya juga melihat dan yakin betul perempuan itu tidak sendirian! Dari pesanan birnya yang sekaligus dua gelas. Dari cara duduknya yang condong ke depan dan menatap lurus-lurus ke seberangnya sambil komat-kamit dan sesekali tubuhnya lebih condong ke depan dengan ekspresi serius seolah sedang menyimak sebuah pembicaraan. Apakah semua itu tidak cukup sebagai bukti kalau perempuan itu tidak sendirian?
Dan ketika gelas keempatnya–atau gelas kedelapannya?–sudah hampir habis, bisa saya lihat jelas perubahan sikapnya. Ia mulai sering tertawa terbahak-bahak bersamaan dengan tangan kanan yang dipakai untuk menutupi separuh wajahnya melayang ke seberang meja dengan gerakan mencubit. Pipinya pun mulai merah. Tatapan matanya sudah tak sekeras sebelumnya. Berubah sayu dan mesra. Ada kegenitan pada sikapnya sekarang. Ada kehangatan, yang bisa membuat siapapun laki-laki di depan perempuan itu akan merasa sedang diberi peluang. Laki-laki? Saya tidak melihat siapapun bersama perempuan itu. Tapi kenapa saya begitu yakin jika ia sedang bersama laki-laki?
Saya semakin tak tahu mana yang harus saya percayai. Penglihatan saya, atau penglihatan orang lain. Pikiran saya, atau pikiran orang lain. Perasaan saya, atau perasaan orang lain. Tapi saya harus memercayai sesuatu. Tidak bisa tidak. Atau saya akan bertambah merasa gila, bukan lagi perempuan itu yang gila, atau semua orang di kafe ini yang tak kalah gila karena tidak bisa melihat bahwa di depan mata mereka sedang terjadi sebuah kejadian gila.
Saya tidak gila. Titik. Perempuan itu yang gila, tak terkecuali semua orang di kafe ini. Sudah amat jelas perempuan itu tidak sendiri. Dan ia pasti sedang bersama laki-laki. Perempuan jenis itu, yang sengaja memakai baju dengan belahan dada rendah, minum bir di siang hari, merokok tidak berhenti, berbicara dengan bisik-bisik sambil menyembunyikan separuh wajahnya, atau mulai tertawa terbahak-bahak sesudah menenggak bir gelas keempat dan mencubit genit sesekali, adalah jenis perempuan yang rugi jika waktunya tak dihabiskan untuk merayu laki-laki. Perempuan yang hanya berpotensi memberi kesenangan sesaat lantas meninggalkan tak lebih dari sakit hati. Pasti.
Saya kembali meneliti deretan surat elektronik. Ada beberapa yang baru. Semua berkaitan dengan pekerjaan. Tak juga saya terima surat elektronik yang saya tunggu. Sedang apa perempuan itu sekarang? Kenapa sudah berhari-hari tak mengirim kabar? Apakah dengan semudah itu saya terlupakan?
Mendadak saya enggan mencari jawaban. Percuma. Perempuan jenis itu tak beda dengan perempuan gila di samping saya. Seminggu keluar kota untuk liburan, pasti ia sedang tidak sendirian. Tak mungkin tidak ia lewati waktu tanpa merayu laki-laki untuk mengisi kekosongan. Pasti ia sedang memakai baju berbelahan dada rendah. Merokok. Minum bir. Mencondongkan tubuhnya ke depan, lebih condong lagi ke depan sehingga garis di antara buah dadanya dapat dilihat dengan begitu jelas dan aroma bir dari mulutnya tercium benar oleh hidung siapapun laki-laki di depannya. Sesekali terbahak. Sesekali mencubit dengan genit. Pasti. Betul atau tidak, terbukti atau tidak. Saya harus memercayai sesuatu, tidak bisa tidak. Atau saya akan bertambah gila.
Sudah saatnya pergi sekarang. Pergi meninggalkan semua kegilaan. Pergi meninggalkan semua keraguan. Pergi meninggalkan perempuan yang kabarnya begitu saya tunggu, kendati saya rindu. Saya cemburu. Padahal ia sedang sendirian.
Saya pikir perempuan itu pastilah setengah gila. Atau memang benar-benar gila. Tapi kenapa ia bisa dengan leluasa pergi tanpa penjagaan? Adakah kegilaannya yang satu ketika dapat merugikan orang? Tapi di luar gerak-geriknya yang aneh itu, caranya berpenampilan tidak menunjukkan bahwa ia tidak waras. Cenderung menarik, malah. Tank topwarna khaki berbelahan dada rendah dihiasi sedikit bordiran, nampak seksi namun terlihat manis berpadu celana jin dan sandal coklat motif bulu sapi. Rambutnya dijepit seluruh ke belakang sehingga tak ada satu helai pun jatuh menutupi wajahnya yang hanya disapu bedak tipis, sementara bibirnya dipulas gincu coklat muda yang terlihat amat natural. Umurnya mungkin menginjak tiga puluhan
Sejak satu jam lalu datang ke kafe ini, ia tak berhenti merokok dan meminta pelayan dua gelas bir sekali pesan. Ia tidak memesan makanan. Ia hanya minum bir yang hingga saat ini sudah empat kali pesan. Berarti sudah delapan gelas bir dalam waktu hanya satu jam. Apakah ia sudah mabuk sehingga berlaku sedemikian aneh, duduk dengan tubuh condong ke depan sambil menutupi setengah wajahnya dengan tangan kanan sementara mulutnya komat-kamit dan sesekali diam dengan tubuh semakin condong ke depan seolah ingin menyimak benar perkataan lawan bicaranya yang mungkin berucap dengan suara pelan? Padahal ia sedang sendirian.
Saya berusaha untuk mengalihkan perhatian kembali ke lap top. Ada beberapa surat elektronik yang harus saya jawab. Semua berkaitan dengan pekerjaan. Begitu banyak naskah yang datang namun sedikit yang layak untuk dipublikasikan. Padahal sebagai redaktur budaya sebuah surat kabar, saya harus memuat satu naskah dengan tenggat mingguan. Kalau saja saya tidak hanya diberi hak kuasa untuk menentukan naskah mana yang layak dimuat, namun juga diberi kuasa untuk berhak tidak memuat satu pun karya jika memang tidak ada yang layak dimuat, mungkin pekerjaan ini akan jauh lebih mudah. Tidak akan saya rasakan lagi pertentangan batin setiap kali harus dengan terpaksa memuat satu naskah yang kendati tak sesuai dengan keinginan saya, paling tidak dalam naskah itu terkandung pesan moral dan tidak menyinggung masalah SARA apalagi berbau porno seperti yang sering dibuat para penulis belakangan.
Pening kepala saya menatap puluhan surat elektronik yang melulu urusan pekerjaan, antri berjejer dari atas hingga bawah. Tak ada surat elektronik yang saya tunggu. Yang selalu bisa mendamaikan perasaan. Yang selalu bisa memberikan kesegaran. Sedang apa perempuan itu sekarang? Kenapa sudah berhari-hari tak mengirim kabar? Apakah dengan semudah itu saya terlupakan? Pandangan saya kembali beralih ke perempuan setengah gila, atau memang benar-benar gila, atau sudah mabuk, di depan saya. Tak kuasa saya untuk tidak mengamatinya lebih lanjut. Akhirnya saya pun tahu, apa yang menyebabkan saya tertarik mengamati perempuan itu. Bukan karena tingkah lakunya yang aneh. Bukan pula karena ia menarik seperti dugaan pertama saya. Tapi karena ia terlihat sama dengan perempuan yang kabarnya begitu saya tunggu. Saya rindu.
Saya mulai mencermati perempuan itu dengan lebih seksama. Gaya duduknya. Gaya merokoknya. Gaya minumnya. Dan barulah saya sadar, kenapa ia memesan bir sekaligus dua gelas. Yang satu ditaruh di depannya. Yang satu ditaruh di depan bangku seberangnya. Ketika perempuan itu minum birnya, bir di gelas satunya pun surut sebanyak yang ia teguk dari gelasnya. Lantas ia menaruh gelasnya kembali. Mengisap rokoknya yang ditaruh di tangan kiri. Menaruh siku tangan kanannya di atas meja. Dan menutupi separuh wajahnya dengan tangan kanannya. Saya tak bisa memercayai penglihatan saya. Hanya dua meja terisi di smoking area.Mejanya, dan meja saya. Ruang bebas rokok berada di sebelah kiri mejanya. Penuh terisi pengunjung yang datang bersama keluarga. Jika perempuan itu menutupi wajahnya hanya dengan tangan kanan, tapi membiarkan separuh bagian wajahnya yang lain terbuka di bagian kiri di mana lebih banyak pengunjung dapat melihat dari sana, apakah itu berarti ia secara sengaja menyembunyikan wajahnya dari saya yang duduk di sebelah kanannya?
Apakah ia merasa kalau saya sedang memperhatikan? Dan kenapa pelayan tidak terlihat merasa janggal setiap kali perempuan itu memesan dua gelas bir sekaligus, kenapa pula pengunjung lain tidak merasa bahwa perempuan itu berlaku aneh, duduk dengan tubuh condong ke depan sambil menutupi setengah wajahnya dengan tangan kanan sementara mulutnya komat-kamit dan sesekali diam dengan tubuh semakin condong ke depan seolah ingin menyimak benar perkataan lawan bicaranya yang mungkin berucap dengan suara pelan? Padahal ia sedang sendirian.
Kini saya yang merasa gila. Tak tahu mana yang harus saya percayai. Penglihatan saya, atau penglihatan orang lain. Pikiran saya, atau pikiran orang lain. Perasaan saya, atau perasaan orang lain. Saya melihat dan yakin betul perempuan itu sedang sendirian. Tapi saya juga melihat dan yakin betul perempuan itu tidak sendirian! Dari pesanan birnya yang sekaligus dua gelas. Dari cara duduknya yang condong ke depan dan menatap lurus-lurus ke seberangnya sambil komat-kamit dan sesekali tubuhnya lebih condong ke depan dengan ekspresi serius seolah sedang menyimak sebuah pembicaraan. Apakah semua itu tidak cukup sebagai bukti kalau perempuan itu tidak sendirian?
Dan ketika gelas keempatnya–atau gelas kedelapannya?–sudah hampir habis, bisa saya lihat jelas perubahan sikapnya. Ia mulai sering tertawa terbahak-bahak bersamaan dengan tangan kanan yang dipakai untuk menutupi separuh wajahnya melayang ke seberang meja dengan gerakan mencubit. Pipinya pun mulai merah. Tatapan matanya sudah tak sekeras sebelumnya. Berubah sayu dan mesra. Ada kegenitan pada sikapnya sekarang. Ada kehangatan, yang bisa membuat siapapun laki-laki di depan perempuan itu akan merasa sedang diberi peluang. Laki-laki? Saya tidak melihat siapapun bersama perempuan itu. Tapi kenapa saya begitu yakin jika ia sedang bersama laki-laki?
Saya semakin tak tahu mana yang harus saya percayai. Penglihatan saya, atau penglihatan orang lain. Pikiran saya, atau pikiran orang lain. Perasaan saya, atau perasaan orang lain. Tapi saya harus memercayai sesuatu. Tidak bisa tidak. Atau saya akan bertambah merasa gila, bukan lagi perempuan itu yang gila, atau semua orang di kafe ini yang tak kalah gila karena tidak bisa melihat bahwa di depan mata mereka sedang terjadi sebuah kejadian gila.
Saya tidak gila. Titik. Perempuan itu yang gila, tak terkecuali semua orang di kafe ini. Sudah amat jelas perempuan itu tidak sendiri. Dan ia pasti sedang bersama laki-laki. Perempuan jenis itu, yang sengaja memakai baju dengan belahan dada rendah, minum bir di siang hari, merokok tidak berhenti, berbicara dengan bisik-bisik sambil menyembunyikan separuh wajahnya, atau mulai tertawa terbahak-bahak sesudah menenggak bir gelas keempat dan mencubit genit sesekali, adalah jenis perempuan yang rugi jika waktunya tak dihabiskan untuk merayu laki-laki. Perempuan yang hanya berpotensi memberi kesenangan sesaat lantas meninggalkan tak lebih dari sakit hati. Pasti.
Saya kembali meneliti deretan surat elektronik. Ada beberapa yang baru. Semua berkaitan dengan pekerjaan. Tak juga saya terima surat elektronik yang saya tunggu. Sedang apa perempuan itu sekarang? Kenapa sudah berhari-hari tak mengirim kabar? Apakah dengan semudah itu saya terlupakan?
Mendadak saya enggan mencari jawaban. Percuma. Perempuan jenis itu tak beda dengan perempuan gila di samping saya. Seminggu keluar kota untuk liburan, pasti ia sedang tidak sendirian. Tak mungkin tidak ia lewati waktu tanpa merayu laki-laki untuk mengisi kekosongan. Pasti ia sedang memakai baju berbelahan dada rendah. Merokok. Minum bir. Mencondongkan tubuhnya ke depan, lebih condong lagi ke depan sehingga garis di antara buah dadanya dapat dilihat dengan begitu jelas dan aroma bir dari mulutnya tercium benar oleh hidung siapapun laki-laki di depannya. Sesekali terbahak. Sesekali mencubit dengan genit. Pasti. Betul atau tidak, terbukti atau tidak. Saya harus memercayai sesuatu, tidak bisa tidak. Atau saya akan bertambah gila.
Sudah saatnya pergi sekarang. Pergi meninggalkan semua kegilaan. Pergi meninggalkan semua keraguan. Pergi meninggalkan perempuan yang kabarnya begitu saya tunggu, kendati saya rindu. Saya cemburu. Padahal ia sedang sendirian.
sumber : Djenar Maesa Ayu
No comments:
Post a Comment